🌻🌷🌹 PERBANYAKLAH ISTIGHFAR! . Al-Imam Hasan Al-Bashri rahimahullahu, . أكثرو من الاستغفار في بيوتكم، وعلى موائدكم، وفي طرقكم، وفي أسواقكم، وفي مجالسكم، وأينما كنتم، فإنكم ما تدرون متی تنزل المغفرة . "Hendaknya kalian memperbanyak istighfar di rumah-rumah kalian, di meja makan
Telah datang berita gembira kepada istri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Ummu Salamah, bahwa budaknya yang bernama Khairah telah melahirkan seorang bayi laki-laki. Ummul Mukminin hanyut dalam kegembiraan dan wajahnya tampak ceria dan berseri-seri. Dia mengutus seseorang untuk membawa ibu dan bayinya ke rumah selama masa-masa pemulihan pasca melahirkan. Khairah adalah budak yang paling beliau sayangi dan beliau telah rindu menantikan kelahiran bayi pertama dari budaknya itu. Tak lama setelah itu Khairah pun datang dengan bayi di gendongannya. Ketika Ummu Salamah memandangnya, beliau langsung menyukai bayi itu karena wajahnya yang tampan dan cerah, menarik hati siapapun yang memandangnya. Ummu Salamah bertanya kepada budaknya “Sudahkah engkau memberikan nama untuknya wahai Khairah?” Khairah menjawab “Belum, aku ingin Anda-lah yang memilihkan nama untuknya sesuka Anda.” Ummu Salamah berkata, “Kita akan memberi nama yang diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu Hasan.” Lalu beliau mengangkat tangannya untuk mendoakan kebaikan bagi sang bayi. Kebahagiaan atas kelahiran Hasan itu tidak hanya dirasakan oleh keluarga Ummul Mukminin Ummu Salamah saja. Namun juga dirasakan oleh seisi rumah di Madinah, yaitu di rumah sahabat utama yang juga penulis wahyu Rasulullah, Zaid bin Tsabit. Sebab ayah si bayi, yakni Yasaar, adalah budak Zaid bin Tsabit yang paling disayangi dan diutamakan di antara budak yang lain. Hasan bin Yassar yang pada akhirnya lebih terkenal dengan sebutan Hasan al-Bashri tumbuh di salah satu rumah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, besar di pangkuan salah satu istri beliau, yaitu Hindun binti Suhail yang lebih sering dipanggil dengan Ummu Salamah. Adapun Ummu Salamah –kalau pembaca belum tahu- adalah seorang wanita Arab yang termasuk paling sempurna akalnya, banyak keutamaannya, dan teguh pendiriannya. Beliau juga termasuk istri nabi yang paling luas pengetahuannya dan paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah. Beliau meriwayatkan sebanyak 387 hadis. Beliau juga termasuk dari sedikit bilangan wanita di masa jahiliyah yang mampu baca-tulis. Hubungan bayi yang beruntung itu dengan Ummu Salamah tidak hanya sebatas itu. Lebih jauh lagi, karena seringkali ibunda beliau, Khairah, harus keluar dari rumah untuk mengurus kebutuhan Ummul Mukminin sehingga harus meninggalkan bayinya. Bila sang bayi menangis karena lapar, maka Ummul Mukminin meletakkan bayi itu di pangkuannya, lalu disusui supaya diam. Karena rasa cintanya terhadap bayi itu, Ummul Mukminin bisa mengeluarkan air susu yang kemudian diminum oleh si bayi hingga merasakan kenyang dan diam dari tangisnya. Dengan demikian, kedudukan Ummu Salamah bagi Hasan al-Bashri adalah sebagai ibu dalam dua sisi. Pertama karena Hasan al-Bashri adalah seorang dari mukminin sedang Ummu Salamah adalah Ummul Mukminin. Kedua Ummu Salamah adalah ibu susuan bagi beliau. Anak ini meraih kesempatan emas untuk bergaul dengan istri-istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sebab rumah-rumah mereka berdekatan sehingga ia bisa bermain dari satu rumah ke rumah yang lain. Sudah barang tentu akhlak beliau terwarnai oleh para penghuni rumah itu dan mendapatkan bimbingan dari mereka. Seperti yang diceritakan oleh Hasan al-Bashri sendiri, dia mengisi rumah Ummul Mukminin dengan ketangkasannya yang menyenangkan. Sering dia naik ke atap rumah lalu berpindah-pindah dengan lincahnya. Hasan dibesarkan dalam suasana yang diterangi oleh cahaya nubuwah dan meneguk sumber air jernih ilmu yang tersedia di rumah-rumah ummahatul mukminin. Beliau juga berguru kepada sahabat-sahabat utama di Masjid Nabawi. Beliau meriwayatkan dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Jabir bin Abdillah dan lain-lain. Meski demikian, kekaguman yang paling menonjol jatuh kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu. Dia mengagumi keteguhan agamanya, ketekunan ibadahnya, kezuhudannya terhadap kesenangan dunia, kefasihan lidahnya, hikmah-hikmahnya yang berkesan di hatinya, kemantapan tutur katanya dan nasihat-nasihatnya yang menggetarkan hati. Sehingga beliau berusaha berakhlak dengannya dalam hal takwa dan ibadah serta mengikuti jejaknya dalam memberikan keterangan dan kefasihan bahasanya. Menginjak usia 14 tahun, ketika memasuki usia remaja, beliau berpindah bersama kedua orang tuanya ke Bashrah dan menetap di sana. Dari sinilah muncul julukan al-Bashri, yang dinisbahkan pada kota Bashrah. Lalu keutamaan beliau mulai dikenal orang-orang di Bashrah. Di saat Hasan al-Bashri menjadi imam, kota Bashrah merupakan benteng Islam yang terbesar dalam bidang ilmu pengetahuan. Masjidnya yang agung penuh dengan para sahabat dan tabi’in yang hijrah ke sana dan halaqah-halaqah keilmuan dengan beraneka ragam dan coraknya memakmurkan masjid-masjid dan suraunya. Hasan al-Bashri tinggal di masjid itu dan menekuni halaqah Abdullah bin Abbas, Habru umati Muhammad Ustadnya umat Muhammad. Dia mengambil pelajaran tafsir, hadis, qiraah, fiqh, adab, bahasa dan sebagainya. Hingga beliau menjadi seorang ulama besar dan fuqaha yang terpercaya. Maka, umat banyak menggali ilmunya, mendantangi majelisnya serta mendengarkan ceramahnya yang mampu melunakkan jiwa-jiwa yang keras dan mencucurkan air mata orang-orang yang terlanjur berbuat dosa. Banyak orang terpikat dengan hikmahnya yang mempesona. Nama Hasan al-Bashri telah menyebar di seluruh daerah dan dikenal di mana-mana. Para gubernur dan khalifah menanyakan dan mengikuti beritanya. Khalid bin Shafwan bercerita. “Aku bertemu dengan Maslamah bin Abdul Malik di daerah Hirah, beliau berkata, Wahai Khalid, ceritakan kepadaku tentang Hasan al-Bashri, aku rasa engkau lebih mengenalnya dari yang lain.” Aku berkata, “Semoga Allah menjaga Anda. Saya sebaik-baik orang yang akan memberikan keterangan tentang Hasan al-Bashri wahai Amir, karena saya adalah tetangga sekaligus muridnya yang setia. Saya lebih mengenal beliau daripada orang Bashrah lainnya’.” Beliau berkata, “Ceritakan apa yang Anda ketahui tentangnya.” Saya berkata, Beliau adalah orang yang hatinya sama dengan lahiriyahnya, perkataannya serasi dengan perbuatannya. Jika menyuruh perkara yang ma’ruf, maka beliau pula yang paling sanggup melakukannya. Jika melarang yang mungkar, beliau pula yang paling mampu meninggalkannya. Saya mendapatinya sebagai orang yang tidak memerlukan pemberian; dan zuhud terhadap apa yang ada di tangan orang lain. Sebaliknya saya dapati betapa orang-orang memerlukan dan menginginkan apa yang dimilikinya.” Maslamah berkata, “Cukup wahai Khalid, cukup. Bagaimana kaum itu bisa sesat, bila ada orang semisal dia di tengah-tengah mereka?” Ketika Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi berkuasa di Irak, bertindak sewenang-wenang dan kejam di wilayahnya, Hasan al-Bashri adalah termasuk dalam bilangan sedikit orang yang berani menentang dan mengecam keras akan kezaliman penguasa itu secara terang-terangan. Suatu ketika, Hajjaj membangun istana yang megah untuk dirinya di kota Wasit. Ketika pembangunan selesai, diundangnya orang-orang untuk melihat dan mendoakannya. Hasan al-Bashri tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang baik di mana banyak orang sedang berkumpul. Dia tampil memberikan ceramah, mengingatkan mereka agar bersikap zuhud di dunia dan menganjurkan manusia untuk mengejar apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Begitulah, ketika Hasan al-Bashri tiba di tempat itu dan melihat begitu banyak orang-orang mengelilingi istana yang megah dan indah dengan halamannya yang luas, beliau berdiri untuk berkhutbah. Di antara yang beliau sampaikan adalah “Kita mengetahui apa yang dibangun oleh manusia yang paling kejam dan kita dapati Fir’aun yang membangun istana yang lebih besar dan lebih megah daripada bangunan ini. Namun kemudian Allah membinasakan Fir’aun beserta apa yang dibangunnya. Andai saja Hajjaj bahwa penghuni langit telah membencinya dan penduduk bumi telah memperdayakannya…” Beliau terus mengkritik dan mengecam hingga beberapa orang mengkhawatirkan keselamatannya dan memintanya berhenti “Cukup Wahai Abu Sa’id, cukup.” Namun Hasan al-Bashri berkata, “Wahai saudaraku, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengambil sumpah dari ulama agar menyampaikan kebenaran kepada manusia dan tak boleh menyembunyikannya.” Keesokan harinya Hajjaj menghadiri pertemuan bersama para pejabatnya dengan memendam amarah dan berkata keras “Celakalah kalian! Seorang dari budak-budak Basrah itu memaki-maki kita dengan seenaknya dan tak seorang pun dari kalian berani mencegah dan menjawabnya. Demi Allah, akan kuminumkan darahnya kepada kalian wahai para pengecut!” Hajjaj memerintahkan pengawalnya untuk menyiapkan pedang beserta algojonya dan menyuruh polisi untuk menangkap Hasan al-Basri. Dibawalah Hasan al-Basri, semua mata mengarah kepadanya dan hati mulai berdebar menunggu nasibnya. Begitu Hasan al-Basri melihat algojo dan pedangnya yang terhunus dekat tempat hukuman mati, beliau menggerakkan bibirnya membaca sesuatu. Lalu berjalan mendekati Hajjaj dengan ketabahan seorang mukmin, kewibawaan seorang muslim, dan kehormatan seorang da’i di jalan Allah. Demi melihat ketegaran yang demikian, mental Hajjaj menjadi ciut. Terpengaruh oleh wibawa Hasan al-Basri, dia berkata ramah “Silahkan duduk di sini wahai Abu Sa’id, silahkan..” Seluruh yang hadir menjadi bengong dan terheran-heran melihat perilaku amirnya yang mempersilahkan Hasan al-Basri duduk di kursinya. Sementara itu, dengan tenang dan penuh waibawa Hasan al-Basri duduk di tempat yang disediakan. Hajjaj menoleh kepadanya lalu menanyakan berbagai masalah agama, dan dijawab Hasan al-Basri dengan jawaban-jawaban yang menarik dan mencerminkan pengetahuannya yang luas. Merasa cukup dengan pertanyaan yang diajukan, Hajjaj berkata, “Wahai Abu Sa’id, Anda benar-benar tokoh ulama yang hebat.” Dia semprotkan minyak ke jenggot Hasan al-Basri lalu diantarkan sampai di depan pintu. Sesampainya di luar istana, pengawal yang mengikuti Hasan al-Basri berkata, “Wahai Abu Sa’id sesungguhnya Hajjaj memanggil Anda untuk suatu urusan yang lain. Ketika Anda masuk dan melihat algojo dengan pedangnya yang terhunus, saya lihat Anda membaca sesuatu, apa sebenarnya yang Anda lalukan ketika itu?” Beliau berkata, Aku berdoa “Wahai Yang Maha Melindungi dan tempatku bersandar dalam kesulitan, jadikanlah amarahnya menjadi dingin dan menjadi keselamatan bagiku sebagaimana Engkau jadikan api menjadi dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.” Kejadian serupa sering dialami Hasan al-Basri berhubungan dengan para wali negeri dan amir, di mana beliau selalu lolos dari setiap kesulitan tanpa menjatuhkan wibawanya di mata para penguasa tersebut dengan lindungan dan pemeliharaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Setelah wafatnya khalifah yang zuhud Umar bin Abdul Aziz, kekuasaan beralih ke tangan Yazid bin Abdul Malik. Khalifah baru ini mengangkat Umar bin Hubairah al-Faraqi sebagai gubernur Irak sampai Khurasan. Yazid ditengarai telah berjalan tidak seperti jalannya kaum salaf yang agung. Dia senantiasa mengirim surat kepada walinya, Umar bin Hubairah agar melaksanakan perintah-perintah yang ada kalanya melenceng dari kebenaran. Untuk memecahkan problem itu, Umar bin Hubairah memanggil para ulama di antaranya asy-Sya’bi dan Hasan al-Basri. Dia berkata “Sesungguhnya Amirul Mukminin, Yazid bin Abdul Malik telah diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai khalifah atas hamba-hamba-Nya. Sehingga wajib ditaati dan aku diangkat sebagai walinya di negeri Irak sampai kupandang tidak adil. Dalam keadaan yang demikian, bisakah kalian memberikan jalan keluar untukku, apakah aku harus menaati perintah-perintahnya yang bertentangan dengan agama?” Asy-Sya’bi menjawab dengan jawaban yang lunak dan sesuai dengan jalan pikiran pemimpinnya itu, sedangkan Hasan al-Basri tidak berkomentar sehingga Umar menoleh kepadanya dan bertanya, “Wahai Abu Sa’id, bagaimana pendapatmu?” Beliau berkata, “Wahai Ibnu Hubairah, takutlah kepada Allah atas Yazid dan jangan takut kepada Yazid karena Allah. Sebab ketahuilah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa menyelamatkanmu dari Yazid, sedangkan Yazid tak mampu menyelamatkanmu dari murka Allah. Wahai Ibnu Hubairah, aku khawatir akan datang kepadamu malaikat maut yang keras dan tak pernah menentang perintah Rabb-nya lalu memindahkanmu dari istana yang luas ini menuju liang kubur yang sempit. Di situ engkau tidak akan bertemu dengan Yazid. Yang kau jumpai hanyalah amalmu yang tidak sesuai dengan perintah Rabb-mu dan Rabb Yazid.” “Wahai Ibnu Hubairah, bila engkau bersandar kepada Allah dan taat kepada-Nya, maka Dia akan menahan segala kejahatan Yazid bin Abdul Malik atasmu di dunia dan akhirat. Namun jika engkau lebih suka menyertai Yazid dalam bermaksiat kepada Allah, niscaya Dia akan membiarkanmu dalam genggaman Yazid. Dan sadarilah wahai Ibnu Hubairah, tidak ada ketaatan bagi makhluk, siapapun dia, bila untuk bermaksiat kepada Allah.” Umar bin Hubairah menangis hingga basah jenggotnya karena terkesan mendengarnya. Dia berpaling dari asy-Sya’bi kepada Hasan al-Basri, Umar semakin bertambah hormat dan memuliakannya. Setelah kedua ulama itu keluar dan menuju ke masjid, orang-orang pun datang berkerumun ingin mengetahui berita pertemuan mereka dengan amir Irak tersebut. Asy-Sya’bi menemui mereka dan berkata; “Wahai kaum barangsiapa mampu mengutamakan Allah atas makhluk-Nya dalam segala keadaan dan masalah, maka lakukanlah. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, semua yang dikatakan Hasan al-Basri kepada Umar bin Hubairah juga aku ketahui. Tapi yang kusampaikan kepadanya adalah untuk wajahnya, sedangkan Hasan al-Basri menyampaikan kata-katanya demi mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka aku disingkirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari Ibnu Hubairah, sedangkan Hasan al-Basri didekati dan dicintai…” Allah memberikan karunia umur kepada Hasan al-Basri hingga berusia lebih dari 80 tahun dan telah memenuhi dunia ini dengan ilmu, hikmah dan fiqih. Warisan yang diunggulkannya bagi generasi kini di antaranya adalah kehalusan dan nasihat-nasihatnya yang mampu menyegarkan jiwa dan mampu menyentuh hati, menjadi petunjuk bagi mereka yang lalai akan hakikat kehidupan dunia serta ihwal manusia dalam menyikapi dunia. Beliau pernah ditanya oleh seseorang tentang dunia dan keadaannya. Beliau berkata, “Anda bertanya tentang dunia dan akhirat. Sesungguhnya perumpamaan dunia dan akhirat adalah seperti timur dan barat, bila satu mendekat, maka yang lain akan menjauh.” Dan Anda memintaku supaya menggambarkan tentang keadaan dunia ini. Maka aku katakan bahwa dunia diawali dengan kesulitan dan diakhiri dengan kebinasaan, yang halal akan dihisab dan yang haram akan berujung siksa. Yang kaya akan menghadapi ujian dan fitnah, sedang yang miskin selalu dalam kesusahan.” Adapun jawaban terhadap pertanyaan orang lain tentang keadaannya dan keadaan orang lain dalam menyikapi dunia beliau berkata, “Duhai celaka, apa yang telah kita perbuat atas diri kita? Kita telah menelantarkan agama kita dan menggemukkan dunia kita, kita rusak akhlak kita dan kita perbaharui rumah, ranjang serta pakaian kita. Bertumpu pada tangan kiri, lalu memakan harta yang bukan haknya. Makanannya hasil menipu, amalnya karena terpaksa, ingin yang manis setelah yang asam, ingin yang panas setelah yang dingin, ingin yang basah setelah yang kering, hingga manakala telah penuh perutnya ia berkata, “Wahai anakku, ambill obat pencerna.” Hai orang yang dungu, sesungguhnya yang kau cerna itu adalah agamamu. Mana tetanggamu yang lapar? Mana yatim-yatim kaummu yang lapar? Mana orang miskin yang menantikan uluranmu? Mana nasihat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya? Kalau saja engkau sadari hisabmu. Tiap kali terbenam matahari, berkuranglah satu hari usiamu dan lenyaplah sebagian yang ada padamu.” Kamis malam di bulan Rajab 110 H, Hasan al-Basri pergi memenuhi panggilan Rabb-nya. Pagi harinya menjadi pagi duka cita bagi kota Bashrah. Jenazahnya dimandikan, dikafani dan dishalatkan setelah shalat Jumat di masjid Jami Basrah, masjid tempat di mana beliau menghabiskan banyak waktu hidupnya, belajar dan mengajar serta menyeru ke jalan Allah. Orang-orang mengiringkan jenazahnya dan hari itu tak ada shalat ashar di Masjid Jami tersebut karena tak ada yang menegakkannya. Dan shalat jamaah ashar tidak pernah absen sejak dibangunnya masjid itu kecuali di hari itu. Hari di mana Hasan al-Basri berpulang ke haribaan Rabb-nya. Sumber Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009 Artikel KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI +62813 26 3333 28 Gadiskecil itu menengok kepada Hasan al-Bashri seraya berkata,"Betapa indah ratapanmu kepada ayahku. Betapa baik bimbingan yang telah kuterima. Engkau ingatkan aku dari lelap lalai." Kemudian, Hasan al-Bashri dan gadis kecil itu meninggalkan makam. Mereka pulang sembari berderai tangis. Sumber: Mutiara Hikmah dalam 1001 Kisah (Al-Islam) Suatu hari, Imam Al Hasan Al Bashri menerima empat rombongan tamu yang datang secara terpisah kepada beliau untuk meminta nasihat. Tamu yang pertama datang mengeluhkan tentang masa paceklik yang terjadi di daerahnya dan sudah meresahkan masyarakat. Lalu, beliau berpesan kepada tamunya itu untuk beristighfar kepada Allah SWT. Selang beberapa saat, Imam Al Bashri kedatangan tamu kedua. Tamunya menyampaikan keinginan agar dapat terbebas dari kefakiran atau kemiskinan yang melilit keluarganya. Kepada tamu ini, beliau memberikan nasihat untuk senantiasa beristighfar kepada Allah SWT. Beberapa waktu kemudian, datang lagi tamu berikutnya yang menyampaikan keluh kesah bahwa di sekitar tempat tinggalnya sedang terjadi kekeringan disebabkan tidak turunnya hujan. Kembali, Imam Hasan Al Bashri menyampaikan petuah singkat kepada tamunya untuk memperbanyak istighfar kepada Allah SWT. Tidak lama setelah tamunya yang ketiga meninggalkan kediaman Imam Hasan Al-Bashri, beliau kembali kedatangan tamu. Tamunya yang keempat ini menyampaikan harapan yang sudah lama mereka dambakan, yaitu ingin memiliki keturunan dari pernikahan yang telah mereka jalani. Dan, ungkapan singkat yang disampaikan beliau adalah perbanyak istighfar kepada Allah SWT. Tanpa disengaja, keempat rombongan tamu itu bertemu di suatu tempat dan saling menceritakan keluh kesah mereka. Karena merasa mendapatkan nasihat yang sama, lantas muncul anggapan bahwa sang imam menyamakan seluruh permasalahan dengan hanya memberikan satu jawaban singkat dan mudah. Yaitu hanya memperbanyak membaca istighfar. Dengan sedikit emosi, mereka bersepakat kembali ke kediaman sang imam guna meminta penjelasan. Sesampainya di rumah Imam Hasan Al Bashri, mereka dipersilakan masuk. Setelah mendengarkan kembali keluhan tamunya, sang imam mengajak mereka menyimak QS Nuh [71] ayat 10-12. ?Maka, aku katakan kepada mereka, Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun’. Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit atas kalian. Dan, Dia akan melipatgandakan harta dan anak-anak kalian, mengadakan kebun-kebun atas kalian, serta mengadakan sungai-sungai untuk kalian.? Setelah mendengarkan kalam Ilahi itu, barulah mereka tersadar bahwa nasihat sang imam bukan asal-asalan seperti dugaan sebagian mereka. Dengan perasaan malu, mereka pun akhirnya meninggalkan rumah beliau. *** Kak Nurul Ihsan/ Donasi terbaik di Insya Allah termasuk amal sedekah jariyah yang pahalanya akan terus-menerus mengalir kepada sahabat donatur hingga sampai di alam barzah alam kubur karena donasi tersebut sepenuhnya digunakan untuk pembuatan ebook anak terbaru dan pengembangan situs menjadi sebuah portal bacaan digital anak muslim free online terbesar di Asia yang bermanfaat bagi umat dan bangsa dalam upaya mendukung Program Sosial Edukasi Gerakan Indonesia Cerdas Literasi. Keutamaan Bersedekah Jariyah di dari shalat tahajud terputus setelah shalat itu selesai. Pahala dari puasa sunah terputus setelah berbuka. Pahala dari baca Alqur?an terputus setelah berhenti baca Alqur?an. Tapi tidak dengan pahala sedekah jariyah di Pahalanya Insyaallah terus-menerus mengalir walau sedekahnya sudah selesai. Tidak terputus sekalipun pemberi sedekahnya sudah meninggal dunia. Terimakasih atas donasi para sahabat literasi. Insya Allah menjadi amal sedekah jariyah yang tetap dan terus mengalir pahalanya sampai di alam barzah alam kubur. Amin ya robbal alamin. Jasa Penerbitan BukuNaskah/Ilustrasi/Komik/Layout Desain/CetakWA 0815 6148 165Telp 022 87824898e-mail cbmagency25 Raden Mochtar III, No. 126, Sindanglaya,Bandung, Jawa Barat 40195 Sumber & Kontributor Cloud Hosting PartnerPT DewawebAKR Tower ? 16th FloorJl. Panjang Kebon JerukJakarta 11530Email sales 021 2212-4702Mobile Kak Nurul Ihsan adalah inisiator Program Sosial Edukasi Gerakan Indonesia Cerdas Literasi, founder ketua Yayasan Sebaca Indonesia, serta kreator 500 buku anak yang sudah berkarya sejak 1991 hingga sekarang bersama tim CBM Studio. Profil dan karya buku Kak Nurul Ihsan dan tim CBM Studio dapat dilihat di sini. Diceritakanoleh Imam Al-Quthubi dari Ar-Rabi' bin Shabih, empat orang pernah datang kepada Hasan Bashri mengadukan masalah yang berbeda-beda. Orang pertama mengadukan tanahnya yang tandus dan gersang, orang kedua mengadukan rizkinya yang sempit, orang ketiga mengadukan telah lama tidak memiliki anak, dan orang keempat mengadukan tanamannya Imam al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan dari Ibnu Subaih rahimahullah, bahwasanya dia berkata, “Ada seorang yang mengadu musim paceklik kepada Hasan al-Bashri rahimahullah, Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, Istighfarlah engkau kepada Allah.’ Ada lagi yang mengadu bahwa dia miskin, Hasan al-Bashri rahimahullah tetap menjawab, Mintalah ampun kepada Allah.’ Lain lagi orang yang ketiga, ia berkata, Doakanlah saya agar dikaruniai anak.’ Hasan al-Bashri rahimahullah tetap menjawab, Mintalah ampunan kepada Allah.’ Kemudian ada juga yang mengadu bahwa kebunnya kering. Hasan al-Bashri rahimahullah tetap menjawab, Mohonlah ampun kepada Allah.’ Melihat hal itu, Rabii’ bin Subaih bertanya, Tadi orang-orang berdatangan kepadamu mengadukan berbagai permasalahan, dan engkau memerintahkan mereka semua agar beristighfar, mengapa demikian?’ Hasan al-Bashri rahimahullah menjawab, Aku tidak menjawab dari diriku pribadi, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengatakan dalam firman-Nya yang artinya, “Maka, Aku katakan kepada mereka, Mohonlah ampunan kepada Rabb-mu, -seseunnguhnya dia adalah Maha Pengampun-, niscaya dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan pula di dalamnya untukmu sungai-sungai.’” QS. Nuh [71] 10-12 Penulis Ustadz Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Luqman hafizhahullah Artikel Disarikan dari artikel berjudul “Ya Alloh…, Ampunilah Aku” dalam Majalah Al-Furqon, Edisi 12 Tahun Ke-9 1431/2010 KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI +62813 26 3333 28 ReadMEDIA KALIMANTAN RABU 22 FEBRUARI 2017 by Media Kalimantan on Issuu and browse thousands of other publications on our platform. Start here!
SUATU ketika datang seseorang kepada Imam Hasan Al-Basri mengadukan masalahnya. Orang pertama datang mengadukan musim paceklik, kemudian Hasan Al-Basri berkata kepadanya “Istighfarlah engkau kepada Allah”. Kemudian orang kedua datang mengadukan tentang kemiskinannya, Hasan Al-Basri juga berkata kepadanya ”Istighfarlah engkau kepada Allah“. Datang lagi orang ketiga mengadukan kondisinya yang tidak kunjung dikaruniai anak, Hasan Al-Basri berkata kepadanya ”Istighfarlah engkau kepada Allah.“ BACA JUGA Nasihat Imam Hasan Al-Bashri Datang lagi orang keempat mengadukan tentang kebunnya yang kering, kemudian Hasan Al- Basri berkata kepadanya ”Istighfarlah engkau kepada Allah.” Semua keluhan dan masalah yang diadukan kepada Hasan Al-Basri dijawabnya dengan “Istighfarlah engkau kepada Allah.” Memperhatikan hal tersebut, al-Rabi bin al-Sabih, murid Hasan Al Basri bertanya kepada beliau dengan sangat penasaran. “Wahai Syaikh Hasan al-Basri, tadi orang-orang berdatangan kepadamu mengadukan berbagai permasalahan, dan engkau memerintahkan mereka semua agar beristighfar, mengapa demikian?” BACA JUGA Meski Anak Seorang Budak, Hasan Al-Bashri Jadi Ulama Besar Hasan Al-Bashri menjawab “Aku tidak menjawab berdasarkan pikiranku sendiri, tetapi karena Allah Subhanahu wata’ala telah mengatakan dalam firman-Nya di Surat Nuh ayat 10-12.” “Maka aku katakan kepada mereka Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan pula di dalamnya untukmu sungai-sungai.” QS. Nuh 10-12

Inilahkehebatan istighfar, walaupun zikirnya mudah saja. Ada satu kisah seseorang mengadu keadaan yang kemarau kepada Imam Hasan al-Basri. Hasan Basri suruh lelaki itu balik ke rumah dan melakukan istighfar. Kemudian, datang pula lelaki lain yang mengadu hidupnya dalam kemiskinan. Hasan Basri suruh lelaki itu balik rumah dan lakukan istighfar

Terdapat banyak manfaat meminta ampunan atau istighfar. Baik manfaat yang diabadikan dalam Alquran ataupun hadis Rasulullah SAW. Manfaat istighfar di antaranya adalah sebab diampuninya dosa, turunnya rezeki dari langit, dilapangkannya harta dan keturunan, syarat dikabulkannya doa, serta dibukakannya berbagai kebaikan hingga masalah apa pun yang dihadapi seorang hamba, selalu ada jalan keluarnya. Al-Hafizd Ibnu Hajar Al Ashqalani di dalam kitab Fath Al Baari mengutip sebuah atsar dari Imam Al Hasan Al Bashri bahwa ada empat rombongan tamu yang datang secara terpisah kepada beliau untuk meminta nasihat. Tamu yang pertama datang mengeluhkan tentang masa paceklik yang terjadi di daerahnya dan sudah meresahkan masyarakat. Lalu, beliau berpesan kepada tamunya itu untuk beristighfar kepada Allah SWT. Selang beberapa saat, Imam Al Bashri kedatangan tamu kedua. Tamunya menyampaikan keinginan agar dapat terbebas dari kefakiran atau kemiskinan yang melilit keluarganya. Kepada tamu ini, beliau memberikan nasihat untuk senantiasa beristighfar kepada Allah SWT. Beberapa waktu kemudian, datang lagi tamu berikutnya yang menyampaikan keluh kesah bahwa di sekitar tempat tinggalnya sedang terjadi kekeringan disebabkan tidak turunnya hujan. Kembali, Imam Al Bashri menyampaikan petuah padat kepada tamunya untuk memperbanyak istighfar kepada Allah SWT. Tidak lama setelah tamunya yang ketiga meninggalkan kediaman Imam Al-Bashri, beliau kembali kedatangan tamu. Tamunya yang keempat ini menyampaikan harapan yang sudah lama mereka dambakan, yaitu ingin memiliki keturunan dari pernikahan yang telah mereka jalani. Dan, ungkapan singkat yang disampaikan beliau adalah perbanyak istighfar kepada Allah SWT. Tanpa disengaja, keempat rombongan tamu itu bertemu di suatu tempat dan saling menceritakan keluh kesah mereka. Karena merasa mendapatkan nasihat yang sama, lantas muncul persepsi bahwa sang imam menggeneralisasi seluruh permasalahan dengan memberikan satu jawaban. Dengan sedikit emosi, mereka bersepakat kembali ke kediaman sang imam guna meminta penjelasan. Sesampainya di rumah Imam Al Bashri, mereka dipersilakan masuk. Setelah mendengarkan kembali keluhan tamunya, sang imam mengajak mereka menyimak QS Nuh [71] ayat 10-12. “Maka, aku katakan kepada mereka, 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun'. Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit atas kalian. Dan, Dia akan melipatgandakan harta dan anak-anak kalian, mengadakan kebun-kebun atas kalian, serta mengadakan sungai-sungai untuk kalian.” Setelah mendengarkan kalam Ilahi itu, barulah mereka tersadar bahwa nasihat sang imam bukan asal-asalan seperti dugaan sebagian mereka. Dengan perasaan malu, mereka pun akhirnya meninggalkan rumah beliau. sumber Harian Republika
Soreitu Hasan al-Bashri sedang duduk-duduk di teras rumahnya. Rupanya ia sedang bersantai makan angin. Tak lama setelah ia duduk bersantai, lewat jenazah dengan iring-iringan pelayat di belakangnya. Di bawah keranda jenazah yang sedang diusung berjalan gadis kecil sambil terisak-isak. Rambutnya tampak kusut dan terurai, tak beraturan.
— Dalam sejarah peradaban Islam, ada banyak tokoh yang menjadi pelita ilmu pada masa sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Di antara mereka ialah Syekh Hasan Al Bashri. Ulama yang menghabiskan sisa usianya di Basrah, Irak, itu berasal dari generasi tabiin. Sejak kecil hingga tumbuh dewasa, dirinya belajar dari banyak sahabat Rasulullah SAW. Karena itu, akhlaknya pun mengikuti keteladanan mereka. Seperti diungkapkan seorang sahabat Rasul SAW, Abu Burdah, “Aku belum pernah melihat lelaki yang sifatnya mirip para sahabat Nabi SAW walaupun tidak termasuk segenerasi dengan mereka, kecuali al- Hasan. Kedalaman ilmu dan keluhuran budi pekerti berpadu dalam diri anak asuh ummul mu`minin Ummu Salamah tersebut.” Reputasi Hasan Al Bashri mulai mengemuka sejak kepindahannya dari Madinah al-Munawarrah ke Basrah. Kala itu, lelaki tersebut baru berusia 15 tahun. Sejarah membuktikan, kota di sekitar Sungai Eufrat dan Tigris itu menjadi saksi perjalanan hidupnya sebagai seorang alim. Bagaimanapun, motif awal hijrahnya tidak melulu berkaitan dengan rihlah keilmuan. Seperti diceritakan Fariduddin Attar dalam Tadzkiratul Auliya, Hasan al-Bashri sebelum dikenal sebagai seorang ulama-sufi berprofesi sebagai pedagang. Ada banyak komoditas yang dijualnya, tetapi yang paling utama ialah perhiasan, semisal mutiara atau permata. Bisnisnya berkembang pesat. Pamornya sebagai pengusaha sukses pun masyhur hingga ke luar negeri. Pada suatu ketika, Hasan melakukan perjalanan bisnis dari Irak hingga ke wilayah Romawi Timur atau Bizantium. Sesampainya di kota tujuan, dia disambut para pejabat lokal, termasuk seorang menteri. Keesokan harinya, sang menteri mengajaknya untuk turut serta dalam rombongan kerajaan. “Jika engkau suka, kita akan pergi ke suatu tempat,” kata pejabat Bizantium itu. Baiklah, jawab Hasan tanpa ragu. Maka seharian itu, pengusaha asal Basrah tersebut membersamai kelompok kecil yang dipimpin sang perdana menteri. Setelah berjam-jam lamanya, mereka akhirnya tiba di padang pasir. Rombongan ini berhenti kira-kira 100 meter dari titik tujuan, yakni sebuah kemah yang berukuran sedang. Dari kejauhan, sudah tampak betapa istimewa tempat tinggal semipermanen tersebut. Hasan diberi tahu tentang tenda itu. Tali temalinya terbuat dari sutra. Adapun pancang-pancangnya yang menancap ke tanah berbahan dasar emas. Perdana menteri yang menemaninya itu lantas memintanya tetap berdiri, tidak langsung menuju ke kemah tersebut. Selang beberapa waktu kemudian, datanglah sekelompok pasukan. Mereka terlihat mengelilingi tenda unik itu. Komandannya tampak berkata-kata sejenak ke arah dalam kemah, lantas memimpin anak buahnya lagi untuk pergi. Tak lama kemudian, datanglah kira-kira 500 orang cendekiawan. Rombongan alim ulama itu juga melakukan tindakan yang persis seperti para prajurit tadi. Setelah urusannya selesai, mereka pun beranjak pergi. Selanjutnya, Hasan menyaksikan kaisar dan para pengawalnya mendekati kemah tersebut. Sesudah mereka semua hilang dari pandangan, sang perdana menteri mempersilakan Hasan untuk mendekati tenda itu. Ternyata, di dalamnya terdapat sebuah kuburan. Pada nisannya tergurat keterangan, inilah tempat peristirahatan terakhir bagi seorang pangeran yang wafat dalam usia muda. “Apa maksud dari semua yang terjadi barusan?” tanya Hasan Perdana menteri itu pun menjelaskan kepadanya. Rombongan prajurit dan komandan militer tadi memang rutin menyambangi makam sang mendiang. Si jenderal sering kali berkata di tepi kuburan itu, “Wahai putra mahkota, seandainya malapetaka yang menimpa engkau terjadi di medan pertempuran, kami tentu akan mengorbankan jiwa dan raga demi menyelamatkanmu. Namun, maut yang engkau rasakan datang dari Dia Tuhan yang tidak sanggup kami perangi, tidak kuasa kami tantang.” Adapun para cendekiawan yang datang sesudahnya berkata di hadapan kuburan tersebut, “Malapetaka yang menimpa dirimu ini datang dari Dia yang tidak dapat kami lawan dengan ilmu pengetahuan maupun filsafat.” Sementara, kaisar yang berziarah tadi ialah bapak sang almarhum. Di dekat kuburan putranya itu, sang raja kerap berujar, “Wahai cahaya hati Ayah! Jikalau seluruh pasukan, kaum cerdik-pandai, dan harta benda yang Ayah miliki bisa menghalangi engkau dari kematian, sungguh sudah pasti Ayah lakukan sejak dahulu. Namun, maut yang menimpamu sudah ditakdirkan oleh-Nya.” Cerita dari perdana menteri Bizantium itu sangat menggugah hati Hasan. Begitu kembali ke kota asalnya, lelaki kelahiran Hijaz ini bertekad untuk tidak lagi menyibukkan seluruh waktunya pada urusan duniawi. Ia bersumpah untuk hidup sederhana serta menenggelamkan dirinya dalam ibadah kepada Allah SWT. sumber Harian Republika
KhirqahUmar memiliki dua sanad, sanad kepada Uwais Al-Qarniy dan sanad kepada Abu Muslim Al-Khawlaniy. Adapun khirqah yang dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, sanadnya sampai kepada Imam Hasan Al-Bashri." (Scan kitab klik di sini) Jelas sudah, Ibnu Taimiyah menyatakan keberadaan sanad khirqah ini. Lantas, apakah beliau punya sanad khirqah? OLEH HASANUL RIZQA Hasan al-Bashri 642-728 merupakan seorang ulama besar pada era sahabat Nabi. Tokoh yang menekuni jalan sufi itu menjadi penerang umat pada masanya dan generasi-generasi kemudian. Cahaya Ilmu dari Era Sahabat Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, perkembangan Islam tidak mengalami perlambatan. Sebaliknya, pengaruh dakwah justru terus meluas. Cakupan syiar agama tauhid tidak hanya menyinari Jazirah Arab, tetapi juga negeri-negeri di sekitarnya, seperti Mesir, Syam, dan Mesopotamia Irak. Tumbuhnya peradaban Islam dalam masa 100 tahun pasca-wafatnya Rasulullah SAW terjadi melalui perjuangan bersama. Penggerak utamanya ialah para sahabat Nabi SAW. Di bawah mereka, terdapat generasi tabiin dan at-tabiit taabi’in. Reputasi ketiga kelompok tersebut bahkan diakui oleh al-Musthafa shalallahu alaihi wasallam sendiri “Yang terbaik dari kalian umat Islam adalah orang-orang yang hidup pada zamanku sahabat, kemudian orang-orang setelah mereka tabiin, kemudian orang-orang setelah mereka at-tabiit taabi’in.” Di Irak, dinamika dakwah berpusat pada beberapa kota. Salah satunya ialah Basrah. Kaum Muslimin, apabila menyebut nama daerah itu pada masa sahabat, pasti teringat pada sosok mulia kebanggaan masyarakat setempat. Dialah Syekh Hasan al-Bashri. Pemilik nama lengkap Abu Said bin Abi Hasan Yasar al-Bashri itu sesungguhnya lahir di Hijaz, bukan Basrah sebagaimana diindikasikan nama gelarnya. Tepatnya, daerah Rabadzah—sekira 170 kilometer dari arah timur Madinah al-Munawwarah—menjadi tempatnya pertama kali menghirup udara dunia pada 21 Hijriyah atau 642 M. Rabadzah kini dikenal sebagai Kota Abu Dzar al-Ghifari karena di sanalah sahabat Nabi SAW tersebut menghabiskan sisa usianya. Menurut Juan Eduardo Campo dalam Encyclopedia of Islam 2009, Hasan al-Bashri berasal dari keluarga bekas tawanan perang. Ayah cendekiawan tersebut merupakan seorang Persia. Sebelumnya, bapaknya itu—bersama puluhan orang Persia lain—ditangkap oleh pasukan Muslimin dalam sebuah perang di Maysan, Irak. Begitu dibawa ke Hijaz, tawanan itu ikut dibebaskan, untuk selanjutnya bekerja pada seorang sahabat Nabi SAW, Zaid bin Tsabit. Adapun ibunda Hasan bernama Khairah. Apabila Abi Hasan Yasar menjadi pembantu Zaid sang sekretaris Nabi SAW, perempuan itu bekerja pada seorang ummul mu`minin, Ummu Salamah. Yasar, dan Khairah kemudian. Selanjutnya, kedua mantan budak itu hijrah ke Madinah dan dikaruniai seorang bayi laki-laki. Kira-kira sembilan tahun sesudah Rasulullah SAW wafat, lahirlah buah hati mereka. Nama “Hasan” merupakan pemberian dari Ummu Salamah. Hingga mencapai usia 15 tahun, Hasan al-Bashri menetap di Madinah. Walaupun tidak banyak sumber sejarah tentang masa kecilnya, seperti dikatakan Campo, Hasan patut diduga menerima pendidikan agama dengan baik sekali selama bertempat tinggal di sana. Hingga mencapai usia 15 tahun, Hasan al-Bashri menetap di Madinah. Sebab, lingkungannya diisi orang-orang yang mulia. Apalagi, ia sendiri besar dengan curahan cinta dan kasih sayang dari para keluarga Ahl al-Bait dan sahabat Rasulullah SAW walaupun dirinya terlahir dari orang tua yang mantan budak. Sebagai contoh, kisah kebaikan dari istri Nabi SAW, Ummu Salamah. Mantan majikan ibunya itu sangat menyayangi Hasan sejak kecil. Apabila Khairah sedang keluar rumah untuk suatu urusan, Hasan yang masih bayi sering merengek mencari-cari ibunya. Ketika itulah, sang ummul mu`minin menggendongnya dan bahkan menyusuinya hingga bayi tersebut tenang kembali. Pernah suatu ketika, Ummu Salamah juga membawa Hasan kecil ke hadapan Khalifah Umar bin Khattab. Sang amirul mukminin kemudian mengelus kepalanya sembari berdoa, “Ya Allah, pahamkanlah dia tentang agama-Mu, dan jadikanlah orang-orang mencintainya.” Sejarah membuktikan, munajat itu dikabulkan Allah SWT. Sang anak akhirnya menjadi seorang ulama besar dari generasi tabiin. Sebelum menapaki masa remaja, Hasan al-Bashri telah menimba banyak ilmu dari kalangan Ahl al-Bait dan para sahabat Nabi SAW di Madinah. Mereka mengenalnya sebagai seorang murid yang cerdas, mudah menyerap pelajaran dan hikmah. Pada mulanya, Hasan kecil belajar di rumah-rumah para istri Rasulullah SAW yang kala itu masih ada—terutama Ummu Salamah. Selanjutnya, ia pun rajin menghadiri pelbagai halaqah yang digelar di Masjid Nabawi. Madinah pada waktu itu dijuluki sebagai pusat kota hadis. Sebab, ada banyak penghafal hadis yang tinggal di sana. Sebagian besar dari mereka pernah mengiringi dakwah Islam sewaktu Rasulullah SAW masih hidup. Karena itu, terasa sekali semangat keilmuan penduduk Kota Nabi. Bergaul dengan orang-orang saleh di Madinah membuat Hasan tumbuh menjadi pemuda yang berilmu. Ia meriwayatkan banyak hadis dari mereka, termasuk Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy'ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abdullah bin Mughaffal, Amr bin Taghlib, Abu Burzah al-Aslami, dan lain-lain. Begitulah keseharian santri yang berguru pada lebih dari 100 orang sahabat Nabi SAW tersebut. Bergaul dengan orang-orang saleh di Madinah membuat Hasan tumbuh menjadi pemuda yang berilmu. Ia meriwayatkan banyak hadis dari mereka. Hijrah ke Basrah Mulai dari masa Khalifah Abu Bakar hingga Umar bin Khattab, umat terus berjuang melawan dominasi Imperium Sasaniyah. Hasilnya, satu per satu wilayah—termasuk Irak—berhasil direbut kaum Muslimin dari tangan kerajaan Majusi itu. Barulah pada era amirul mukminin Utsman bin Affan, seluruh daerah kekuasaan Persia berada dalam genggaman daulah Islam. Dari sekian banyak kawasan di Irak, Hasan al-Bashri menjadikan Basrah sebagai tujuan perjalanannya. Saat berusia 15 tahun, pemuda saleh nan cerdas itu memulai hijrahnya dari Madinah ke kota seluas 75 km persegi tersebut. Secara geografis, Basrah berlokasi di Shatt al-Arab, daerah muara yang mempertemukan aliran Sungai Tigris dan Eufrat. Kawasan tersebut mulanya bernama Ubullah dan dikuasai Sasaniyah. Pada awal 630-an, pasukan yang dipimpin Utbah bin Ghazwan sukses merebutnya. Atas instruksi Khalifah Umar, dibangunlah kamp balatentara Muslim di sana. Sejak saat itu, namanya menjadi Basrah. Seiring runtuhnya Sasaniyah, Basrah kian berkembang pesat sebagai salah satu mercusuar peradaban Islam di Irak. Dari sana, banyak bermunculan tokoh agama dan politik. Seiring dengan runtuhnya Sasaniyah, Basrah kian berkembang pesat sebagai salah satu mercusuar peradaban Islam di Irak. Dari sana, banyak bermunculan tokoh agama dan politik. Reputasi kota tersebut pun kian terkenal sehingga menarik perhatian kaum terpelajar Muslim dari Jazirah Arab untuk mendatanginya. Hasan muda ikut termotivasi untuk tinggal di Basrah. Bahkan, pada akhirnya kota tersebut menjadi tempatnya beramal hingga tutup usia. Karena itu, orang-orang menjulukinya “Syekh Hasan al-Bashri”—Tuan Guru Hasan dari Kota Basrah'. Amal yang dilakukannya tidak hanya pada bidang pendidikan, tetapi juga militer. Bahkan, Hasan tercatat berkali-kali mengikuti jihad fii sabilillah selama bertempat tinggal di sana. Dengan dipimpin al-Muhallab bin Abi Sufra, komandan pasukan Islam di Basrah, anak asuh ummul mu`minin Ummu Salamah itu selalu berada di garis depan dalam tiap pertempuran. Keberaniannya diakui banyak tokoh Muslim sezamannya. Seorang sahabat Nabi SAW, Abu Burdah, memujinya dengan perkataan, “Aku belum pernah melihat lelaki yang sifatnya mirip para sahabat Nabi SAW walaupun tidak termasuk segenerasi dengan mereka, kecuali al-Hasan.” Aku belum pernah melihat lelaki yang sifatnya mirip para sahabat Nabi SAW walaupun tidak termasuk segenerasi dengan mereka, kecuali al-Hasan. Sejak menjadi warga Basrah, Hasan muda semakin giat belajar. Ia menuntut ilmu-ilmu agama dari banyak ulama besar setempat, termasuk kalangan sahabat Nabi SAW. Seorang gurunya bernama Abdullah bin Abbas. Dari Ibnu Abbas, dirinya menerima ilmu tafsir Alquran, hadis, serta qiraah. Dengan gugurnya Utsman bin Affan pada 656 M, kepemimpinan umat diteruskan kepada Ali bin Abi Thalib. Sang khalifah lantas memindahkan ibu kota dari Madinah ke Irak. Hasan bersama dengan generasi muda Muslimin setempat memanfaatkan perpindahan pusat kekhalifahan itu dengan sebaik-baiknya, yakni menimba ilmu dari sang menantu Rasulullah SAW. Dari Ali, Hasan belajar banyak hal, khususnya ilmu bahasa dan sastra Arab. Di samping itu, dia juga mengagumi sang karamallahu wajhah yang selalu memberi nasihat penuh hikmah. Menjadi ulama Setelah bertahun-tahun menimba ilmu, tibalah saatnya bagi Hasan al-Bashri untuk berkiprah sebagai seorang guru. Saat berusia 40 tahun, dia telah memimpin sebuah halaqah keilmuan di Masjid Raya Basrah. Ada banyak orang yang menjadi muridnya. Mereka tidak hanya berasal dari kota setempat, tetapi juga seantero Irak. Ia menjadi ulama yang paling masyhur di Basrah. Dalam menyampaikan ilmu, Hasan tidak hanya menyasar pikiran, tetapi juga perasaan para pendengarnya. Tidak jarang, jamaah akan meneteskan air mata tatkala menyimak ceramahnya yang penuh hikmah. Mengingat dosa, peringatan kematian, memperbaiki diri, mendekatkan diri pada Allah SWT, itu semua menjadi tema-tema yang sangat apik dibawakannya. Hati siapapun akan tergugah apabila mendengarkan uraiannya. Mengingat dosa, peringatan kematian, memperbaiki diri, mendekatkan diri pada Allah SWT, itu semua menjadi tema-tema yang sangat apik dibawakannya. Pengikutnya tidak hanya berasal dari kalangan masyarakat biasa. Para elite pemimpin pun menaruh hormat takzim kepadanya. Hasan sering kali menasihati para amirul mukminin, termasuk yang memimpin dalam era Dinasti Umayyah. Salah seorang penguasa yang pernah diberikannya petuah ialah Khalifah Abdul Malik bin Marwan, yakni raja kedua Umayyah yang juga cukup lama berkuasa di zaman dinasti tersebut. Ceramah-ceramahnya selalu menarik hati. Sebab, Hasan menggunakan gaya bahasa yang santun serta sangat piawai dalam memanfaatkan kalimat-kalimat sastrawi. Sementara, bangsa Arab mudah terpesona pada estetika bahasa. Beberapa orang, baik yang hidup sezaman maupun sesudahnya, mengabadikan untaian nasihat-nasihat dari sang syekh dalam berbagai buku. Salah satu contoh nasihatnya yang tercatat ialah sebagai berikut. “Wahai anak Adam! Kalian bukanlah apa-apa kecuali hitungan hari. Setiap hari itu lewat, sebagian darimu pun pergi menghilang.” Selain itu “Kematian menunjukkan kenyataan hidup. Tidaklah kematian meninggalkan kebahagiaan kecuali bagi orang-orang yang bijak.” Dalam bahasa Indonesia, bunyi petuah itu barangkali “kehilangan” nuansa sastrawinya. Yang jelas, dalam bahasa aslinya kata-kata tersebut mudah dihapalkan serta amat menyentuh hati. Hasanal-Bashri, tokoh generasi Tabi'in terkemuka yang wafat di Bashrah, Irak pada Jum'at 5 Rajab 110 Hijriyah/728 Masehi itu, adalah salah satu ulama yang menjadi rujukan. Tak sedikit kalangan ketika itu yang mengajukan ragam persoalan sekaligus meminta solusi kepada sosok yang terkenal dengan ketajaman intuisinya tersebut. Kisah berikut ini menggambarkan ketajaman spiritual tokoh yang ISTIGHFAR atau Astaghfirullah adalah tindakan meminta maaf atau memohon keampunan kepada Allah yang dilakukan umat Islam. Sesungguhnya ia adalah perbuatan yang dianjurkan dan sesuatu amalan penting di dalam ajaran Islam. Bagi memudahkan pemahaman berkaitan mustajabnya amalan istighfar, ulama bernama Ahmad Musthafa al-Maraghi ada menulis kisahnya menerusi kitab Tafsir al-Maraghi. Sebagai umat Islam kita perlu menataati setiap perintah-Nya. Kisah ini wajar menjadi teladan dan ia berkisar tokoh sufi bernama Hasan al-Basri, yang juga anak kepada pembantu sahabat Nabi Muhammad SAW yang terkenal sebagai penulis al-Quran, Zaid bin Tsabit, manakala ibunya Khairoh pula pembantu seorang isteri Baginda, Ummu ke Basrah pada usia 14 tahun, beliau kemudiannya dikenali sebagai seorang tabi'in iaitu generasi setelah sahabat Rasulullah SAW, sekaligus pernah berguru kepada beberapa sahabat Baginda sehingga muncul sebagai ulama terkemuka dalam peradaban Islam. Imam Hasan sering didatangi segenap lapisan masyarakat bertanyakan hukum agama dan meminta nasihat. Diceritakan pada satu hari, seorang lelaki telah datang mengadu kepadanya kerana berdepan masalah kelaparan. Beliau dengan penuh hikmah menjawab, “Istighfarlah kepada Allah.” Seterusnya beliau didatangi seorang yang menceritakan masalah yang dilaluinya kerana ketiadaan zuriat. Sekali lagi Imam Hasan menjawab, “Istighfarlah kepada Allah.” Berpegang teguhlah pada al-Quran. Kemudian datang pula seorang lelaki merintih mengenai kebunnya kekeringan kerana musim kemarau. Jawapan sama diulangi dengan penuh hikmah, “Beristighfarlah kepada Allah.” Jawapan Hasan al-Basri menghairankan masyarakat sekitarnya. Salah seorang daripada penduduk itu bertanya, “Beberapa orang lelaki datang dan mengadu pelbagai masalah, tetapi tuan hanya menyuruh mereka semua untuk melafazkan istighfar.” Hasan al-Basri menjawab “Aku sama sekali tidak mengatakan apapun dari diriku sendiri. Sesungguhnya Allah berfirman seperti itu.” Firman Allah yang dimaksudkan oleh Hasan adalah Surah Nuh ayat 10-12. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, Rasulullah bersabda yang bermaksud “Barang siapa melazimkan istighfar, maka Allah akan jadikan jalan keluar dalam setiap kesulitan hidup dan jadikan setiap kegundah-gulanaan menjadi kebahagiaan dan Allah akan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka.” Hadis Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah Begitu indahnya hidup ini jika dipenuhi dengan amalan-amalan yang sememangnya tersedia dalam kitab suci al-Quran. Yang penting kita mendalaminya dan menyakini setiap isinya kerana pasti ada penyelesaian atas apa sahaja masalah yang dilalui. Nak macam-macam info? Join grup Telegram mStar! lrvXdK6.
  • 6ki4zxdi51.pages.dev/140
  • 6ki4zxdi51.pages.dev/101
  • 6ki4zxdi51.pages.dev/354
  • 6ki4zxdi51.pages.dev/223
  • 6ki4zxdi51.pages.dev/168
  • 6ki4zxdi51.pages.dev/348
  • 6ki4zxdi51.pages.dev/200
  • 6ki4zxdi51.pages.dev/464
  • kisah istighfar hasan al bashri